Filsafat
Pendidikan Esensialisme
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban manusia. Essensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memeliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan serta nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata jelas.
Madjid Noor (1987) berpendapat bahwa, “Manusia memiliki intelegensi, ia
mampu berpikir dan karenanya dapat menyesuaikan diri terhadap dunia
eksternalnya, sehingga tetap bertahan dalam perjuangannya menghadapi dunia
eksternalnya”. Nasib baik manusia akan dapat tetap bertahan karena
intelegensinya harmoni dengan tatanan kehidupan, harmoni dengan tatanan
realitas eksternalnya.
Kesimpulannya bahwa manusia dan masyarakat adalah bagian dari alam
semesta yang bersifat objektif dan eksternal, karena manusia dan masyarakat
berada dalam kesatuan mekanis dan tunduk pada hukum alam, maka hukum-hukum
dalam kehidupan masyarakat pun sama dengan hukum-hukum alam. Di
samping itu, karena
intelegensi berfungsi sebagai alat adaptasi dalam evolusi kehidupan, maka untuk
tetap bertahan, tugas dan tujuan manusia adalah beradaptasi terhadap
hukum-hukum masyarakat atau kebudayaan dan alam lingkungannya.
Hakikat realitas esensialisme merupakan suatu konsepsi bahwa dunia atau
realitas ini dikuasai oleh tata tertentu yang mengatur dunia beserta isinya. Hal ini berarti bahwa
bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak, cita-cita, dan perbuatan manusia harus
disesuaikan dengan tata tersebut. Sesuai dengan pendapat Tatang Syaripudin
Kurniasih (2008) bahwa, aliran pendukung esensialisme adalah aliran idealisme
obyektif dan realisme obyektif.
1. Ontologi
idealisme
Pendukung esensialisme adalah
idealisme obyektif atau idealisme absolut. Aliran ini meyakini adanya dunia
ideal yang abadi dan dunia material yang temporal serta fana. Realitas ideal
yang abadi itulah hakikat akhir dari segala realitas, sedangkan realitas
material yang temporal dan fana hanyalah penampakan saja atau hanya tiruan dari
realitas ideal.
Kesimpulannya bahwa menurut
Idealisme absolut, realitas adalah idea, jiwa, pikiran atau kesadaran. Ide
adalah Yang Absolut, yang esa, yaitu Tuhan. Segala sesuatu yang ada dan yang
akan terjadi di dunia ini adalah menurut tata tertentu yang bersumber dari Yang
Absolut.
2. Ontologi realisme
Realisme pendukung
esensialisme adalah realisme obyektif. Menurut aliran ini hakikat realitas
bersifat eksternal atau objektif, artinya berada di luar subjek atau manusia
dan independen dari pikiran manusia. Selain itu, realitas bersifat teratur
berdasarkan hukum-hukum yang tidak tunduk kepada kehendak manusia. Alam semesta
merupakan kesatuan yang mekanis menurut hukum alam objektif. Manusia begitu
juga masyarakat merupakan bagian dari alam semesta, maka semuanya berada dalam
antar hubungan, tunduk pada hukum alam objektif, dan berada dalam proses
evolusi, yaitu perubahan menuju kesempurnaan.
Mohammad
Noor Syam (1984) berpendapat bahwa, “Kesadaran manusia adalah bagian dari
kesadaran Yang Absolut”. Karena itu, dalam diri manusia tercermin suatu harmoni
dengan alam semesta, khususnya pikiran manusia. Kemampuan pikiran manusia untuk
berpikir logis, dalam mengambil kesimpulan yang valid adalah suatu perwujudan
proses yang sistematis.
Dengan kata
lain, sumber pengetahuan adalah dari dalam diri, karena manusia memiliki
ide-ide bawaan. Manusia memperoleh pengetahuan melalui berpikir, intuisi, atau
intropeksi.
Suatu
pengetahuan dikatakan benar bukan karena berguna untuk memecahkan masalah atau
kehidupan praktis, tetapi suatu pengetahuan dikatakan benar karena ia memang
benar, jadi kebenaran bersifat intrinsik, bukan instrumental. Jadi, kebenaran
merupakan perwujudan dari realitas tertinggi.
Menurut
realisme obyektif sumber pengetahuan adalah dunia luar subjek, pengetahuan
diperoleh melalui pengalaman pengindraan, atau pengamatan. Kita mengetahui
sesuatu jika kita mengamati atau mengalami sesuatu melalui kontak langsung
melalui pancaindra. Pengetahuan sudah ada di dalam realitas, manusia tinggal
menemukannya melalui pengamatan dan pengalaman. Suatu pengetahuan diakui benar jika pengetahuan itu sesuai dengan realitas
eksternal dan independen.
Dari kedua
aliran pendukung esensialisme dapat disimpulkan bahwa aliran esensialisme
berpandangan bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang tersirat dan bermakna.
Perbedaannya adalah jika pada aliran idealisme pengetahuan tersirat dalam diri
manusia itu sendiri, sedangkan pada aliran realisme pengetahuan tersirat dalam
realitas eksternal.
Aliran
idealisme berpendapat bahwa nilai hakikatnya diturunkan dari realitas absolut,
karena itu nilai-nilai adalah abadi atau tidak berubah. Dalam kehidupan sosial, kualitas spiritual seperti kesadaran cinta bangsa
dan patriotism merupakan nilai-nilai sosial yang perlu dijunjung tinggi.
Aliran
realisme percaya bahwa standar nilai tingkah laku manusia diatur oleh hukum
alam, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan, adat istiadat di
dalam masyarakat. Nilai-nilai individual dapat diterima apabila sesuai dengan
nilai-nilai umum masyarakat.
Dapat
disimpulkan bahwa aliran esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh
tata nilai yang tiada cela, yang mengatur isinya dengan tiada cela pula.
Perbedaaannya adalah jika aliran idealisme berpendapat bahwa nilai yang absolut
berasal dari Tuhan, sedangkan aliran realism berpendapat bahwa nilai yang
absolut berasal dari hukum alam.
Peranan
siswa adalah belajar, bukan untuk mengatur pelajaran. Menurut idealisme belajar
yang menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebeneran seperti yang telah
ditetapkan oleh Yang Absolut. Sedangkan menurut realisme belajar berarti
penyesuaian diri terhadap masyarakat dan alam.
Kesimpulannya
bahwa esensialisme memandang belajar berarti menerima dan mengenal dengan
sungguh-sungguh nilai-nilai sosial oleh generasi baru yang timbul untuk
ditambah, dikurangi, dan diteruskan kepada generasi berikutnya.
Guru atau
pendidik berperan sebagai mediator atau jembatan antara dunia masyarakat atau
orang dewasa dengan dunia anak. Guru harus disiapkan sedemikian rupa agar
secara teknis mampu melaksanakan peranannya sebagai pengarah proses belajar.
Adapun secara moral guru haruslah orang terdidik yang dapat dipercaya. Dengan
demikian inisiatif dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada siswa.
Kurikulum
direncanakan dan diorganisasi oleh guru sebagai wakil masyarakat. Hal ini
sesuai dengan dasar filsafat idealisme dan realisme yang menyatakan bahwa Yang
Absolut (idealisme) atau masyarakat dan alam (realisme) mempunyai peranan
menentukan bagaimana seharusnya individu hidup. Kurikulum terdiri atas berbagai
mata pelajaran yang berisi ilmu pengetahuan, agama, dan seni yang dipandang
essensial. Sifat kurikulum adalah berpusat pada mata pelajaran.
Dalam hal
metode pendidikan, esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah mempertahankan
metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental. Metode problem solving memang ada manfaatnya,
tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar.
Alasannya, bahwa kebanyakan pengetahuan bersifat abstrak dan tidak dapat
dipecahkan ke dalam masalah-masalah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka esensialisme
merupakan paduan ide-ide filsafat idealisme dan realisme. Dan praktek-praktek
filsafat pendidikan Esensialisme dengan demikian menjadi lebih kaya
dibandingkan jika ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran.
Ide pokok idealisme berprinsip tentang semesta raya dan hakekat sesuatu. Ide
pokok realisme berprinsip realita itu ada jika independen terlepas daripada
kesadaran jiwa manusia.
Esensialisme
menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan
keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang
berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai
dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Esensialisme
lebih berorientasi pada masa lalu.
Pada prinsipnya,
proses belajar menurut esensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang
sudah ada dan proses belajar sebagai proses menyerap apa yang berasal dari
luar, yaitu dari warisan-warisan sosial yang disusun di dalam kurikulum
tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniasih, T. S. (2008) Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung:
Percikan Ilmu.
Noor, M. (1987). Filsafat
dan Teori Pendidikan. Bandung: FIP IKIP Bandung.
Syam, M. N. (1984). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional.
EmoticonEmoticon