Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Karya: Rizki Siddiq
Nugraha
Anak
berkebutuhan khusus (ABK) didefinisikan sebagai anak yang memiliki
karakteristik berbeda dari anak lainnya yang dipandang normal oleh masyarakat.
Menurut Miftakhul Jannah dan Ira Darmawanti (2004, hlm. 15) ABK adalah “anak
yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau
penyimpangan fisik, mental-intelektual, sosial, dan atau emosional dibanding
dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan pelayanan
pendidikan khusus”. Sedangkan Abdul Hadist (2006, hlm. 5) ABK diartikan sebagai
“anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi
kemanusiaan mereka secara sempurna”. Selanjutnya Aqila Smart (2010, hlm. 33)
berpendapat ABK adalah “anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya”.
Dari beberapa
definisi tersebut, maka dapat ditarik garis besar ABK adalah anak yang
mengalami kelainan dengan karakteristik khusus yang membedakannya dengan anak
normal pada umumnya serta memerlukan pendidikan khusus sesuai dengan jenis
kelainannya.
Ada beberapa istilah
yang digunakan untuk menunjukan keadaan anak berkebutuhan khusus. Istilah anak
berkebutuhan khusus merupakan istilah terbaru yang digunakan dan merupakan
terjemahan dari children with special
need yang kini digunakan secara luas di dunia internasional. Ada beberapa
istilah lain yang digunakan untuk menyebut anak berkebutuhan khusus, yakni anak
cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan anak luar biasa.
Menurut
Irwanto, Kasim dan Rahmi (2010) secara garis besar faktor penyebab anak
berkebutuhan khusus jika dilihat dari masa terjadinya dapat dikategorikan
menjadi tiga macam, yakni:
1. ABK yang terjadi pada saat pra
kelahiran (sebelum lahir)
Artinya pada masa anak masih berada di dalam kandungan telah diketahui
mengalami kelainan dan ketunaan. Kelainan pada masa prenatal berdasarkan
periodisasinya dapat terjadi pada periode embrio, periode janin muda, dan
periode aktini. Kelainan yang mungkin terjadi, diantaranya gangguan genetika
(kelainan kromosom, transformasi), infeksi kehamilan, usia ibu hamil (high risk group), keracunan saat hamil,
pengguguran, dan lahir prematur.
2. ABK yang terjadi selama proses kelahiran
Artinya anak mengalami kelainan pada saat proses kelahiran. Ada beberapa
sebab kelainan saat anak dilahirkan, antara lain anak lahir sebelum waktunya,
lahir dengan bantuan alat, posisi bayi tidak normal, dan kelainan ganda atau
kesehatan bayi yang kurang baik.
3. ABK yang terjadi setelah proses kelahiran
Kelainan pada ABK ini muncul pada saat anak dalam masa perkembangan. Ada
beberapa sebab kelainan setelah anak dilahirkan diantaranya infeksi bakteri
(TBC/virus), kekurangan zat makanan (gizi atau nutrisi), kecelakaan, dan
keracunan.
Berdasarkan
beberapa faktor di atas, sebagian besar (70, 21%) anak berkebutuhan khusus
disebabkan oleh bawaan lahir, kemudian karena penyakit (15,7%), dan
kecelakaan/bencana alam sebesar 10,88%.
ABK dapat
diklasifikasikan apabila termasuk kedalam salah satu kategori, sebagai berikut:
1. Kelainan sensori, seperti
cacat penglihatan atau pendengaran.
2. Deviasi mental, seperti retardasi
mental.
3. Kelainan komunikasi, seperti
permasalahan bahasa dan ucapan.
4. Ketidakmampuan belajar, termasuk masalah belajar yang serius karena
kelainan fisik.
5. Perilaku menyimpang, seperti gangguan emosional.
6. Cacat fisik dan kesehatan, seperti kerusakan neurologis, ortopedis,
dan penyakit lainnya seperti leukimia dan gangguan perkembangan.
Adapun lebih
lengkapnya jenis kelainan ABK dijabarkan, sebagai berikut:
1. Tunagrahita atau retardasi
mental
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan
Luar Biasa, anak tunagrahita diartikan sebagai anak-anak yang memiliki
kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya. Anak tunagrahita seringkali
memiliki masalah dalam pengendalian emosi, pengendalian fisik, dan keterampilan
sosial, tapi masih bisa belajar. Proses pembelajaran pada anak tunagrahita
berbeda dengan anak pada umumnya. Pembelajaran pada anak tunagrahita harus
lebih sering diulang, menggunakan bahasa yang jelas (mudah dipahami). Berikut
tabel klasifikasi tingkatan tunagrahita:
Klasifikasi
|
Karakteristik
|
Tunagrahita
ringan (inferior) (IQ 51-70)
|
-Tidak
tampak sebagai anak retarded oleh
orang biasa.
-Dapat belajar
keterampilan praktis, membaca atau menghitung sampai level kelas 6 sekolah
dasar (SD), tapi harus dididik di sekolah luar biasa.
-Dapat
mencapai keterampilan untuk penyesuaian sosial dan pekerjaan untuk
pemeliharaan diri tapi dilakukan dengan lamban.
-Membutuhkan
dukungan dan bimbingan berkala saat mengalami tekanan ekonomi atau sosial
yang tidak biasa.
|
Tunagrahita
sedang (Moron) (IQ 36-51)
|
-Lambat
dalam bergerak, berbicara, dan berkomunikasi secara sederhana.
-Bisa
dilatih mengerjakan tugas-tugas sederhana untuk menolong diri.
-Dapat
dilatih keterampilan-keterampilan tangan sederhana.
-Mampu
berjalan sendiri di tempat-tempat yang dikenal.
-Tidak mampu
merawat diri sendiri.
|
Tunagrahita
berat (embicile) (IQ 20-35)
|
-Lambat
dalam perkembangan motorik.
-Sedikit
atau tanpa kemampuan berkomunikasi.
-Masih bisa
dilatih untuk keterampilan dasar untuk menolong diri sendiri.
-Dapat
melakukan aktifitas sehari-hari yang sifatnya rutin dan berulang.
-Membutuhkan
petunjuk dan pengawasan dalam sebuah lingkungan yang terlindung.
|
Tunagrahita
sangat berat (idiot) (IQ di bawah
20)
|
-Memiliki
kapisitas minimal dalam fungsi-fungsi sensori motor.
-Lambat
dalam semua aspek perkembangan dan pembicaraan sulit dipahami.
-Menunjukan
emosi dasar.
-Mungkin
mampu dilatih untuk menggunakan kaki, tangan, dan rahang.
-Tidak mampu
merawat diri dan membutuhkan pengawasan yang ketat serta perawatan.
|
Tabel Klasifikasi dan Karakteristik Tunagrahita
2. Kesulitan belajar
Kesulitan belajar tidak ada kaitannya dengan inteligensi yang rendah.
Kesulitan belajar dapat didefinisikan sebagai suatu istilah umum yang mengacu
pada beragam kelompok gangguan yang terlihat pada kesulitan dalam menguasai dan
menggunakan kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, berpikir, atau
kemampuan matematis. Kesulitan belajar dibagi menjadi dua, yakni kesulitan
belajar umum (learning disability)
dan kesulitan belajar khusus (specific
learning disability). Kesulitan belajar umum ditunjukkan dengan prestasi
belajar rendah untuk semua pelajaran. Sedangkan kesulitan belajar khusus
ditujukan pada siswa yang berprestasi rendah dalam bidang akademik tertentu,
seperti membaca, menulis, berkomunikasi, dan kemampuan matematis.
3. Hiperaktif (ADHD dan ADD)
Hiperaktif adalah bagian dari attention
deficit with/without hyperactivity disorder (ADD/HD) atau yang dikenal
dengan istilah gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH).
ADHD/GPPH mencakup gangguan pada tiga aspek, yakni sulit memusatkan perhatian,
hiperaktif, dan impulsivitas. “Hiperaktif bukan merupakan suatu penyakit, namun
gejala yang terjadi disebabkan faktor kerusakan otak, kekacauan emosi, atau
retardasi mental” (Solek dalam Bandi Delphie 2006). Untuk itu, hiperaktif
merupakan gangguan belajar yang bersifat umum terjadi pada anak.
4. Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan
emosi dan kontrol sosial. Seorang tunalaras biasanya menunjukan perilaku
menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di
sekitarnya. Adapun karakteristik anak tunalaras menurut Slavin (2006), sebagai
berikut:
a. Kurang mampu dalam belajar karena faktor intelektual, sensori,
atau faktor kesehatan.
b. Tidak mampu membangun atau memelihara hubungan interpersional yang
baik dengan guru atau teman sebaya.
c. Seringkali menunjukan sikap tidak sopan.
5. Tunarungu
Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik
permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat
gangguan pendengaran, sebagai berikut:
a. Gangguan pendengaran sangat ringan (15-40dB), tidak dapat
mendengar percakapan berbisik dalam keadaan sunyi pada jarak dekat.
b. Gangguan pendengaran sedang (40-60dB), tidak dapat mendengarkan
percakapan normal dalam keadaan sunyi pada jarak dekat.
c. Gangguan pendengaran berat (60-90dB), hanya mampu mendengarkan
suara yang keras pada jarak dekat.
d. Gangguan pendengaran eksterm/tuli (di atas 90dB), hanya dapat
mendengarkan suara yang sangat keras.
Setiap anak yang mengalami gangguan pendengaran seringkali mengalami
beberapa masalah lain, seperti gangguan bahasa. Walaupun memiliki potensi yang
sangat tinggi dan cara berpikir kreatif visualnya juga tinggi, apabila
kemampuan berbahasanya kurang, maka perkembangan kognitif, prestasi akademik,
dan kemampuan sosial.
6. Tunanetra
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan.
Tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yakni, buta total (blind) dan low vision.
7. Autis
Mayoritas gangguan autisme disebabkan karena abnormalitas di otak.
Karakteristik umum dari gangguan ini ditandai dengan adanya gangguan dalam
kondisi sosial, kemampuan sosial, dan interaksi sosial. “Anak-anak dengan
autisme seringkali menunjukkan sifat-sifat kelainan yang bisa diidentifikasi
sejak sebelum umur 3 tahun” (Semiawan dan Mangunsong, 2010), diantara
sifat-sifat tersebut, antara lain:
a. Tidak
tanggap terhadap orang lain.
b. Gerakan
diulang-ulang seperti bergoyang, berputar, dan memilin tangan.
c. Menghindari
kontak mata dengan orang lain.
d. Tetap dalam
kebiasaan dengan intensitas tinggi.
8. Tunadaksa
Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan
oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit,
atau akibat kecelakaan termasuk celebral
parsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa adalah:
a. Ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik
tetapi masih bisa ditingkatkan melalui terapi.
b. Sedang yaitu memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan
koordinasi sensorik.
c. Berat yakni memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan
tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
9. Tunaganda
Istilah ini digunakan untuk menyebut anak yang memiliki cacat ganda atau
lebih dari satu macam. Misalnya seorang anak yang mengalami kelainan
pendengaran sedang dan gangguan penglihatan total. Kasus seperti ini perlu
penanganan yang lebih kompleks sesuai dengan kondisi anak.
Referensi
Delphie, B. (2006). Pembelajaran
Anak Berkubutuhan Khusus. Bandung: Refika Aditama.
Hadist, A. (2006). Pendidikan
Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung: Alfabeta.
Irwanto, Kasim, & Rahmi (2010). Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia Pusat Kajian
Disabilitas. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial & Politik.
Jannah, M. & Darmawanti, I. (2004). Tumbuh Kembang Anak Usia Dini & Deteksi Dini pada Anak Berkebutuhan
Khusus. Surabaya: Insight Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.
Semiawan, C. R. & Mangunsong, F. (2010). Keluarbiasaan Ganda (Twice Exceptionality): Mengeksplorasi, Mengenal,
Mengidentifikasi, dan Menanganinya. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Slavin, R. E. (2006). Educational
Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn and Baccon.
Smart, A. (2010). Anak Cacat
Bukan Kiamat (Metode Pembelajaran & Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus.
Yogyakarta: Kata Hati.
EmoticonEmoticon