Filsafat Pendidikan Liberalisme
Karya: Rizki Siddiq
Nugraha
Liberal
memiliki arti bersifat bebas, berpandangan bebas, luas, dan terbuka. Liberal
berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi
mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi
masyarakat, sehingga tugas pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan
politik dan ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, “kaum liberal selalu
berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di
luar dunia pendidikan dengan cara memecahkan masalah-masalah yang ada dalam
dunia pendidikan” (Fakih dan Raharjo, 2002, hlm. 8-9).
Paradigma
ideologi pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu
pengetahuan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya dan masyarakat yang sesuai dengan paham, teori, dan tujuan yang
merupakan satu program sosial politik yang bebas berpandangan luas dan terbuka.
Paradigma liberal berangkat dari keyakinan bahwa tidak ada masalah dalam sistem
yang berlaku di tengah masyarakat, masalahnya terletak pada mentalitas,
kreativitas, motivasi, keterampilan teknis, serta kecerdasan anak didik.
Prinsip-prinsip
dasar ideologi pendidikan liberal menurut O’neill (2008, hlm. 355-356), sebagai
berikut:
1. Seluruh kegiatan belajar adalah pengetahuan personal melalui
pengalaman personal (relatifisme psikologi).
2. Seluruh hasil kegiatan belajar bersifat subjektif dan selektif
(subjektifisme).
3. Seluruh hasil kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian
inderawi (empirisme, behaviorisme, materialisme, dan empirisme biologis).
4. Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses pemecahan masalah
aktif dalam pola coba dan salah (trial
and error) (pragmatisme dan instrumentalisme).
5. Cara belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan
oleh perintah-perintah eksperimental yang mencirikan metode ilmiah dan
pengetahuan terbaik adalah yang paling selaras dengan pembuktian ilmiah yang
sudah dianggap sahih sebelumnya (eksperimentalisme filosofis dan eksperimentalisme
ilmiah).
6. Pengalaman paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya dan karena itu juga paling penting artinya (psikologis
developmentalitis).
7. Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan oleh
konsekuensi-konsekuensi emosional dari perilaku (hedonisme psikologi).
8. Sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman sosial mengarahkan dan
mengendalikan sifat-sifat hakiki dan isi pengalaman personal, dengan begitu
juga mengarahkan dan mengendalikan pengetahuan personal (relatifisme budaya).
9. Penyelidikan kritis dari jenis yang memiliki arti penting hanya
bisa berlangsung dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis yang memiliki
komitmen terhadap ungkapan umum pemikiran dan perasaan individual (demokrasi
sosial).
10. Jika dalam kondisi-kondisi yang optimal, anak yang berpotensi
rata-rata dapat menjadi efektif secara personal dan bertanggung jawab secara
sosial.
Prinsip-prinsip
dasar tersebut, secara ringkas dapat dikatakan bahwa manusia dalam mencari
kesenangan dan kebahagiaan menuntut adanya perilaku efektif. Perilaku efektif
menuntut adanya pemikiran efektif, dengan menggunakan kecerdasan terlatih yang
didasarkan pada ilmu pengetahuan serta nalar. Ilmu dan nalar menuntut adanya
kebudayaan yang mendukung. Sedangkan budaya yang mendukung harus disertai
nilai-nilai moral kemanusiaan (kebebasan berbicara, kebebasan beragama,
kebebasan berserikat, dan sebaginya). “Semua itu akan menimbulkan kenikmatan
dan kebahagiaan dalam sebuah pola sinergisme positif” (O’neill, 2008, hlm.
352).
Liberalisme
pendidikan merupakan salah satu aliran dalam pendidikan dewasa ini yang mulai
menjadi mindset berpikir dalam
memahami makna dari pendidikan itu sendiri baik dikaji dari makna filosofis
maupun makna normatif. Berkaitan dengan pendidikan, kaum liberal beranggapan
bahwa persoalan pendidikan terlepas dari persoalan politik dan ekonomi
masyarakat. Meskipun demikian, kaum liberal berusaha menyesuaikan pendidikan
dengan keadaan ekonomi dan politik di luar pendidikan yaitu dengan
menyelesaikan masalah yang diarahkan pada penyesuaian atas sistem dan struktur
sosial yang berjalan. Hal yang lebih diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan
kualitas dari proses belajar mengajar sendiri, fasilitas dan kelas yang baru,
modernisasi peralatan sekolah, dan penyeimbangan rasio guru-siswa. Selain itu,
“berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang
lebih efisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics), learning by
doing, experimental learning, dan
sebagainya” (Fakih dan Raharjo, 2002, hlm. 14).
Kaum liberal
beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang
berbeda. Mereka tidak melihat hubungan pendidikan dalam struktur kelas dan
dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender pada masyarakat luas.
Pendidikan justru dimaksudkan sebagai “media untuk mensosialisasikan dan
memproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar
masyarakat luas berfungsi secara baik” (Fakih dan Raharjo, 2002, hlm. 14).
Pendekatan liberal ini yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan
yang berarti berbagai macam pelatihan. Akar dan pendidikan ini adalah
liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan,
melindungi hak, dan kebebasan (freedom),
serta mengidentifikasi masalah dan upaya perubahan sosial demi menjaga
stabilitas jangka panjang.
Tradisi liberal
telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal menjadi
bagian dari globalisasi ekonomi liberal kapitalisme. Pada konteks lokal, paradigma
pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem developmentalisme, di mana sistem tersebut ditegakkan pada suatu
asumsi bahwa akar underdevelopment
karena rakyat tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme. Pendidikan harus
membantu peserta didik untuk masuk dalam sistem tersebut, sehingga masyarakat
memiliki kemampuan dalam kompetisi pada sistem kapitalis.
Referensi
Fakih,
M., & Raharjo, T. (2002). Pendidikan
yang Membebaskan. [Online]. Diakses dari:
http://www.fppm.org/info/Anda/pendidikan/yang/membebaskan.htm
O’neill,
W. F. (2008). Ideologi-Ideologi
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
EmoticonEmoticon