Konsep Pendidikan Inklusif
Karya: Rizki Siddiq Nugraha
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional bab III ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warga negara
mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukan bahwa
semua anak di Indonesia berhak untuk mengenyam pendidikan tidak terkecuali bagi
anak berkebutuhan khusus. Selama ini, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan
(SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu.
SLB, sebagai lembaga
pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama,
sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB
Tunalaras, dan SLB Tunaganda. SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan,
sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, dan atau tunaganda. Sedangkan pendidikan terpadu adalah
sekolah biasa yang juga menampung anak berkalainan, dengan kurikulum, guru,
sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama.
Namun, praktik di lapangan
selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang efektif
karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak berkelainan. Pada
umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten/Kota. Padahal anak-anak
berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak
hanya di Ibu Kota Kabupaten/Kota. Akibatnya sebagian anak-anak berkebutuhan
khusus, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak
disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan
disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa
tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima
di SD terdekat, namun karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya
mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas
akan berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mengantisipasi hal
tersebut, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar pendidikan dasar, maka
dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak berkebutuhan khusus,
baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan
pendidikan khusus maupun anak-anak berkebutuhan khusus yang belum sempat
mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau
karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan
warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada
penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan
khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus atau
peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif
atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus berupa
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di
dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak
dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan
khusus perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak normal untuk
mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat. Tentunya SD terdekat
tersebut perlu dipersiapkan segala sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan
dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus selama ini.
Namun dalam pelaksanaannya
di Indonesia masih terdapat beberapa kekurangan sehingga menghambat
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Salah satunya masih kurangnya guru
pembimbing khusus untuk melayani kebutuhan anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Untuk itu diperlukan komponen-komponen pendukung agar pendidikan inklusif
berjalan dengan baik. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini akan mengkaji
lebih dalam tentang konsep pendidikan inklusif.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut:
1. Apa definisi dan
pengertian pendidikan inklusif?
2. Apa saja tujuan
pendidikan inklusif?
3. Siapa saja sasaran
pendidikan inklusif?
4. Bagaimana pendidikan inklusif
untuk sekolah dasar?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Inklusif.
Selain itu juga bertujuan agar dapat mengetahui mengenai :
1. Definisi dan pengertian pendidikan inklusif.
2. Tujuan pendidikan inklusif.
3. Sasaran pendidikan inklusif.
4. Pendidikan inklusif untuk sekolah dasar.
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, belajar menyusun laporan dan lebih mengetahui tentang
konsep pendidikan inklusif.
2. Bagi kalangan akademik, diharapkan penyusunan
laporan ini dapat dijadikan sebagai bahan studi perbandingan serta sebagai
bahan pertimbangan untuk penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
3. Bagi kalangan umum, diharapkan penyusunan laporan
ini nantinya dapat bermanfaat dan dapat dipertimbangkan pengembangannya.
E. Metode Penulisan
Metode yang digunakan
dalam pembuatan makalah
ini adalah studi pustaka dengan menggunakan beberapa sumber buku dan internet.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Pengertian
Pendidikan Inklusif
Istilah inklusif
memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan,
keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik,
pendidikan, sosial, dan ekonomi. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif
dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu
berdasarkan kemampuan atau kelainan yang dimiliki oleh masing-masing individu.
Istilah pendidikan inklusif
yaitu digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak yang memiliki
hambatan kedalam program sekolah. Konsep pendidikan inklusif memiliki pemahaman
mengenai pentingnya penerimaan anak-anak tersebut ke dalam kurikulum,
lingkungan, dan interaksi sosial di sekolah.
Hakikat
inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial,
dan intelektual. Semua siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi
mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang
dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaam yang ada pada setiap diri individu.
Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dengan model
pendidikan yang disesuaikan dengan perbedan-perbedaan individu tersebut.
Terdapat beberapa
pengertian pendidikan inklusif menurut para ahli diantaranya yaitu menurut
Staub dan
Peck (1995) menyatakan bahwa “pendidikan
inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat
secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukan bahwa kelas reguler merupakan
tempat yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan
bagaimana pun gradasinya”.
Adapun menurut
Sapon-Shevin dalam O’Neil (1995) menyatakan bahwa “pendidikan inklusif sebagai sistem
layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di
sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama teman-teman seusianya. Oleh
karena itu, ditekankan adanya perombakan sekolah, sehingga menjadi komunitas
yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, sehingga sumber belajar
menjadi memadai dan mendapat dukungan dari semua pihak, yaitu para siswa, guru,
orang tua, dan masyarakat sekitarnya”.
Freiberg (1995) melalui pendidikan inklusif,
anak berkelainan dididik bersama-sama dengan siswa lainnya yang normal dengan
tujuan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh
kenyataan bahwa didalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan
yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu komunitas.
Daniel P. Hallahan (1993) mengemukakan
pengertian pendidikan inklusif sebagai “…pendidikan yang menempatkan peserta
didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari”. Dalam
pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta
didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa
pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal
lainnya. Untuk itu, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses
pelaksanaan pembelajaran di dalam kelas serta harus memiliki kemampuan dalam
menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.
Senada dengan pengertian yang
disampaikan Daniel P. Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
(Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan
kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya.
Pengertian pendidikan dalam
permendiknas di atas memberikan penjelasan mengenai siapa saja yang dapat
dimasukan dalam pendidikan inklusif. Perincian pemerintah ini merupakan
kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah
memandang perlunya memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik
baik yang normal maupun berkelainan untuk mengikuti pendidikan.
Dari pengertian yang dikemukakan
para ahli di atas mengenai pendidikan inklusif, maka dapat saya simpulkan
pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memasukan peserta didik berkebutuhan
khusus untuk berbaur dengan lingkungan sekolah baik kurikulum, siswa, guru, dan sebagainya.
B.
Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan
pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama
dengan anak sebayanya di sekolah regular yang terdekat dengan tempat
tinggalnya.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak
sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana dan prasarana
pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan
individu peserta didik. Dengan demikian, tujuan dari pendidikan inklusif adalah
untuk mendorongnya partisipasi penuh anak berkebutuhan khusus dalam kehidupan
masyarakat. Selain itu, tujuan dari pendidikan inklusif adalah untuk
berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan-hambatan tersebut terkait
etnik, gender, status sosial, ekonomi, dan lain-lain.
Sekolah inklusif merupakan sekolah yang ideal baik
bagi anak dengan dan tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat
mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus, mereka dapat belajar dari
interaksi spontan teman-teman sebayanya terutama dari aspek sosial dan
emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang
kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu dan memiliki
kepedulian. Disamping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan
khusus memiliki prestasi yang baik tanpa merasa terganggu sedikitpun.
Adapun sisi positif dari penerapan pendidikan inklusif
ini adalah sebagai berikut:
1. Membangun kesadaran dan konsensus pentingnya
pendidikan inklusiff sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
2. Melibatkan dan memberdayakan
masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal, mengumpulkan
informasi semua anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa
mereka tidak sekolah.
3. Mengidentifikasi hambatan berkaitan
dengan kelainan fisik, sosial dan masalah lainnya terhadap akses dan
pembelajaran.
4. Melibatkan masyarakat dalam
melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
C.
Sasaran Pendidikan Inklusif
Dalam Alfian (2013) hak atas Pendidikan Inklusiff
yang paling jelas telah dinyatakan dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi
yang menekankan bahwa sekolah membutuhkan perubahan dan penyesuaian. Pendidikan
inklusiff merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak
berkelainan yang secara formal kemudian ditegaskan dalam pernyataan Salamanca
pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan Berkelainan pada bulan Juni 1994 bahwa
“prinsip mendasar dari pendidikan inklusiff adalah selama memungkinkan, semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada mereka”. Sekolah harus mengakomodasi semua anak, tanpa kecuali
ada perbedaaan secara fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, atau
kondisi lain, termasuk anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan,
anak yang bekerja, anak dari etnis, budaya, bahasa, minoritas dan kelompok
anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan. Inilah yang dimaksud dengan oneschool
for all.
Menurut prinsip
diatas bahwa sasaran pendidikan inklusiff adalah tidak hanya anak berkebutuhan
khusus tetapi juga anak normal. Jenis anak yang berkebutuhan khusus yang
menjadi sasaran pendidikan inklusiff ini diantaranya:
1. Tunanetra/anak yang mengalami gangguan penglihatan
Tunanetra adalah anak
yang mengalami gangguan daya penglihatannya, berupa kebutaan menyeluruh
atau sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat
bantu khusus masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
2. Tunarungu/anak yang mengalami
gangguan pendengaran
Tunarungu adalah anak
yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau
kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan
pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
3. Tunalaras/Anak yang Mengalami
Gangguan Emosi dan Perilaku
Tunalaras adalah anak
yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok usia maupun
masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan dirinya maupun orang lain, dan
karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi kesejahteraan dirinya
maupun lingkungannya.
4. Tunadaksa/mengalami kelainan angota
tubuh/gerakan
Tunadaksa adalah anak
yang mengalami kelainan atau cacat yang menetap pada alat gerak (tulang, sendi,
otot) sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
5. Tunagrahita
Tunagrahita (retardasi
mental) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan
perkembangan mental jauh di bawah rata-rata(IQ dibawah 70) sehingga mengalami
kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya
memerlukan layanan pendidikan khusus. Hambatan ini terjadi sebelum umur 18
tahun.
6. Cerebral palsy
Gangguan / hambatan
karena kerusakan otak (brain injury) sehingga mempengaruhi
pengendalian fungsi motorik
7. Gifted (anak berbakat)
Adalah anak yang
memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreatifitas, da tanggung jawab
terhadap tugas (task commitment)
diatas anak-anak seusianya (anak
normal)
8. Autisme
Autisme adalah gangguan
perkembangan anak yang disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem syaraf pusat
yang mengakibatkan gangguan dalam interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
9. Asperger
Secara umum performa
anak Asperger Disorder hampir sama dengan anak autisme, yaitu memiliki gangguan
pada kemampuan komunikasi, interaksi sosial dan tingkah lakunya.
10. Rett’s Disorder
Rett’s Disorder adalah
jenis gangguan perkembangan yang masuk kategori ASD. Aspek perkembangan pada
anak Rett’s Disorder mengalami kemuduran sejak menginjak usia 18 bulan yang
ditandai hilangnya kemampuan bahasa bicara secara tiba-tiba.
11. Attention deficit disorder with
hyperactive (ADHD)
ADHD terkadang lebih
dikenal dengan istilah anak hiperaktif, oleh karena mereka selalu bergerak dari
satu tempat ketempat yang lain. Tidak dapat duduk diam di satu tempat selama ±
5-10 menit untuk melakukan suatu kegiatan yang diberikan kepadanya. Rentang
konsentrasinya sangat pendek, mudah bingung dan pikirannya selalu kacau, sering
mengabaikan perintah atau arahan, sering tidak berhasil dalam menyelesaikan
tugas-tugas di sekolah. Sering mengalami kesulitan mengeja atau menirukan ejaan
huruf.
12. Lamban belajar (slow learner) :
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki
potensi intelektual sedikit di bawah normal tetapi belum termasuk tunagrahita.
Dalam beberapa hal mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon
rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi masih jauh lebih baik dibanding dengan
yang tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang normal, mereka butuh waktu
yang lebih lama dan berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas
akademik maupun non akademik, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan
khusus.
13. Anak yang mengalami kesulitan
belajar spesifik
Anak yang berkesulitan
belajar spesifik adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam
tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis dan
berhitung atau matematika), diduga disebabkan karena faktor disfungsi
neugologis, bukan disebabkan karena factor inteligensi (inteligensinya normal
bahkan ada yang di atas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan
khusus. Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar
membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia), atau kesulitan
belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran lain mereka tidak
mengalami kesulitan yang signifikan (berarti).
Kesimpulannya
sasaran pendidikan inklusiff secara umum adalah semua peserta didik yang ada di
sekolah reguler. Tidak hanya mereka yang sering disebut sebagai anak
berkebutuhan khusus, tetapi juga mereka yang termasuk anak ‘normal’. Mereka
secara keseluruhan harus memahami dan menerima keanekaragaman dan perbedaan
individual. Secara khusus, sasaran pendidikan inklusiff adalah anak
berkebutuhan khusus, baik yang sudah terdaftar di sekolah reguler, maupun yang
belum dan berada di lingkungan sekolah reguler.
D. Pendidikan Inklusif di
Sekolah Dasar
1. Strategi
Pembelajaran
Untuk merealisasikan
layanan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan setiap anak dari masing-masing
kelompoknya di kelas, maka sebaiknya kita menggunakan strategi pembelajaran
yang mendasarkan pada keberagaman (differentiation)
kemampuan belajar mereka yang berbeda-beda. Strategi pembelajaran ini dapat
diterapkan dengan efektif melalui perubahan atau penyesuaian antara kemampuan
belajar mereka dengan harapan/target,
alokasi waktu, penghargaan/hadiah. tugastugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan pada anak-anak
dari masing-masing kelompok yang beragam, meskipun mereka belajar dalam satu
kelas, dengan tema dan mata pelajaran yang sama. Misalnya, harapan atau target belajar
matematika untuk anak kelas III SD yang cepat belajarnya (high function
learners) adalah memahami dan mampu menggunakan perkalian dalam soal
ceritera dengan analisisnya pada tahapan berpikir abstrak.
Sedangkan untuk
anak-anak yang kemampuan belajarnya rata-rata (average performers)
mempelajari perkalian hanya sampai ratusan pada tahapan semi konkrit, dan untuk
anak yang lambat belajarnya (slow learners) mengenali perkalian baru
sampai puluhan dengan tahapan konkrit, serta bagi anak autis mempelajari
matematika sampai ratusan dengan lebih banyak memfokuskan padakeunggulan visual thinkingnya (pemahaman konsep
melalui pengamatan dengan bantuan gambar, kode, label, simbol atau film dan
sebagainya).
Demikian pula
dalam alokasi waktu,
penghargaan/hadiah. tugas-tugas/pekerjaan, dan bantuan yang diberikan juga disesuaikan dengan tahapan
perkembangan belajar dari masing-masing kelompok tersebut. Jadi proses layanan pembelajarannya bukan didasarkan
pada bentuk layanan sama rata, sama rasa
dan disampaikan secara klasikal, tetapi diarahkan pada pembelajaran yang lebih demokratis dan proporsional sesuai dengan harapan dan target belajar dari
masing-masing kelompok anak tersebut, dan
proses belajar anak-anak tersebut tidak dipisahkan berdasarkan kelompok atau
dipisahkan dari komunitasnya,
melainkan mereka belajar bersama-sama dengan teman sebayanya di dalam kelas reguler.
Apabila program
dan proses belajar anak didik disesuaikan dengan keberagaman dari setiap
kelompok tersebut, maka semua anak dalam kelas yang sama itu dapat mengikuti
proses belajar sesuai dengan porsinya masing-masing. Siswa yang belajarnya
cepat tidak harus mendapatkan materi pelajaran dan alokasi waktu belajar yang
sama dengan teman-teman sebaya pada umumnya (average group)
atau sama dengan temannya yang lebih lambat belajarnya atau sama dengan
temannya yang autis. Sebelum mereka berpartisipasi dalam belajar secara penuh,
anak perlu meyakini bahwa mereka bisa belajar. Untuk menumbuhkan keyakinan
tersebut pada semua anak, maka mereka memerlukan reward (penghargaan, hadiah dan sejenisnya). Pemberian reward ini sangat diperlukan oleh
semua anak untuk mengembangkan harga dirinya (self esteem) dan identitasnya. Khususnya buat anak-anak yang
lambat belajarnya, dengan memperoleh reward
pada setiap langkah selama menyelesaikan pekerjaan dan proses
belajarnya, maka membuat mereka menjadi lebih percaya diri.
dalam
mengerjakan tugas atau pekerjaannnya. Dengan kata lain, anak harus dihargai apa
adanya. Mereka harus merasa aman, bisa mengekspresikan pendapatnya dan sukses
dalam belajarnya. Ini membantu anak menikmati belajar dan guru bisa memperkuat
rasa senang ini melalui penciptaan kelas yang lebih 'menyenangkan'. Di kelas
seperti itu, harga diri anak ditingkatkan melalui penghargaan/penguatan; di
dalam kelompok ini anak yang kooperatif dan ramah didukung; sehingga anak
merasa sukses serta senang belajar sesuatu yang baru.Begitu juga bantuan dan
bimbingan pada anak yang cerdas pun, tetap perlu diberikan walaupun tidak
sebanyak dan seintensif yang diberikan pada anak autis dan anak-anak lain yang
lebih lambat belajarnya.
Pada anak-anak
autis dan anak yang lambat belajarnya membutuhkan bimbingan pada setiap tahapan
belajarnya. Jadi, apabila strategi dan atmosfir proses belajar seperti telah
dijelaskan tersebut dapat direalisasikan dengan optimal, maka dapat
mengantarkan semua anak untuk mencapai proses belajar yang menyenangkan.
2.
Kurikulum
Kurikulum yang digunakan di sekolah inklusiff
menggunakan kurikulum nasional namun dimodifikasi sesuai dengan tahap
perkemangan anak berkebutuhan khusus, yaitu dengan memperhatikan karakteristik
(ciri-ciri) dan tingkat keerdasannya.
Kurikulum yang perlu dimodifikasi
dilakukan terhadap:
a. Alokasi
waktu
b. Isi/materi
kurikulum
c. Proses
belajar-mengajar
d. Sarana-prasarana
e. Lingkungan
belajar
f. Pengelolaan kelas
Pengembangan kurikulum pendidikan inklusif
dapat dilakukan oleh Tim Pengembang kurikulum yang terdiri dari guru-guru yang
mengajar di kelas inklusif yang bekerjasama dengan berbagai pihak, terutama
guru pembimbing khusus (guru Pendidikan Luar Biasa) yang sudah memiliki
pengalaman mengajar di Sekolah Luar Biasa, serta ahli Pendidikan Luar Biasa
(Orthopaedagog), yang dipimpin oleh Kepala Sekolah Dasar Inklusif serta sudah
dikoordinir oleh Dinas Pendidikan. Menurut Hardman dkk (Surna dan Pandeirot,
tahun 2014 mengemukakan bahwa kerja sama dalam pelaksanaan program pembelajaran
pada pendidikan inklusiff, terutama bagi guru yang ditugaskan, secara khusus
bertanggung jawab dalam upaya:
1) Membantu
dalam melaksanakan Assessment agar di peroleh data yang akurat tentang kondisi
peserta didik yang sesuai dengan kebuuhan program pembelajaran.
2) Mendokumentasikan
dan senantiasa memperbaharui data peserta didik
3) Mengembangkan
materi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum.
4) Berupaya
bekerja sama dalam tim dalam mengimplementasikan program pembelajaran yang
sifatnya individual.
5) Bekerjasama
dengan orang tua dalam upaya mengambangkan dan melaksanakan program
pembelajaran.
6) Membantu
serta mengupayakan agar program pembelajaran senantiasa sesuai dengan kebutuhan
anak dan tujuan pembelajaran agar peserta didik berkembang optimal.
3. Guru
Guru Sekolah Dasar selama ini disiapkan
untuk mengajar anak-anak yang ada di SD. Pada umumnya para siswa di SD adalah
anak-anak normal yang tidak memiliki kelainan/penyimpangan baik secara fisik,
intelektual, social, emosional, dan/atau sensoris. Pada umumnya mereka memiliki
kondisi fisik, intelektual, social, emosional, dan/atau sensoris yang relative
homogen.
Tenaga kependidikan merupakan salah satu
unsur terpenting dalam pendidikan inklusiff. Tenaga kependidikan secara umum
memiliki tugas seperti menyelenggarakn kegiatan mengajar, melatih, meneliti,
mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang
pendidikan.
Disamping itu
ternyata masih rendahnya tenaga pendidik yang mau serta mampu mendidik anak
berkebutuhan khusus. Selain itu juga rendahnya kinerja guru yang diindikasikan
dngan keridakmampuan sekolah dan guru regular melakukan penyesuaian, kurangnya
kerjasama guru dengan lingkungan sekolah, serta kurangnya hasil pekerjaan guru.
4. Pelayanan
Istilah pelayanan pendidikan anak
yang berkebutuhan khusus digunakan dalam upaya menjelaskan tentang program dan
pelayanan yang berlaku dalam penyelenggaraan system pendidikan bagi anak anak
yang mengalami kesulitan atau keterbatasan dalam mengikuti program pendidikan
dengan berbagai alasan dan membutuhkan bantuan khusus (termasuk keterbatasan
fisik dan belajar serta kebutuhan sosial).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan inklusif merupakan program pelayanan pendidikan yang
menjunjung tinggi nilai kesamaan hak dalam mengenyam pendidikan. Seluruh anak
di Indonesia baik yang normal maupun yang berkebutuhan khusus memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Namun, sosialisasi
tentang konsep pendidikan inklusif yang belum sampai, sehingga masih terdapat
anggapan jika pendidikan inklusif itu adalah memasukan anak berkebutuhan khusus
ke sekolah regular. Selain itu, perlunya komitmen yang serius dari pihak
pemerintah untuk mengawal pendidikan inklusif ini agar pada tataran teknis
dapat terlaksana, khususnya dalam pemenuhan sistem pendidikan inklusif. Dengan
demikian, pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
B. Saran
Saya berharap sosialisasi
tentang konsep pendidikan inklusif terus digencarkan, agar tidak terdapat
kesalahpahaman dalam memahami pendidikan inklusif. Disamping itu, perlunya
menggalakan dukungan untuk membantu terselenggaranya pendidikan inklusif
khususnya pemenuhan sistem pendidikan inklusif. Dan terakhir tingkatkan
kesadaran bahwa pendidikan untuk semua bukan hanya tugas pemerintah namun tugas
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian.
(2013). Pendidikan Inklusif di Indonesia.
Jurnal.
Freiberg.
(1995). Measuring School Climate.
Boston: Education Leadership.
Hallahan, D. P. (1993). Exceptional Children. Boston: Introduction to Special Education.
O’Neil. (1995). Can
Inclusion Work (a Conversation with James Kauffman and Mara Sapon-Shevin).
Boston: Educational Leadership.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun
2009.
Staub., Peck. (1995). What Area the Outcomes for Nondisabled Students. Boston:
Educational Leadership.
Surna & Pandaerot. (2014). Psikologi Pendidikan 1. Jakarta: Erlangga.
Undang-Undang Dasar pasal 31 ayat 1 tentang
Pendidikan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
EmoticonEmoticon