Sekolah Berbasis Pengembangan Produktivitas
Potensi Daerah Desa 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal)
Potensi Daerah Desa 3T (Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal)
Karya: Rizki Siddiq
Nugraha
Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) telah memasuki usia 71 tahun terhitung sejak
proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Setiap negara termasuk negara Indonesia
tentunya memiliki tujuan, yakni mensejahterakan seluruh rakyatnya. Tujuan luhur
ini tergambar dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“...untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial...”. Tingkat kesejahteraan suatu negara dapat dilihat salah
satunya melalui angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM suatu negara
dihitung berdasarkan data angka harapan hidup yang mewakili bidang kesehatan,
angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang mewakili bidang pendidikan,
dan kemampuan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan pokok yang dilihat dari
rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang
mewakili bidang ekonomi. Dilansir dari nationalgeographic.co.id berdasarkan
data laporan indeks pembangunan manusia 2015 yang dikeluarkan Badan PBB Urusan
Program Pembangunan (UNDP) “Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia
menempati peringkat ke 110 dari 187 negara, dengan nilai indeks 0,684” (Tanpa
nama, 2016). Data ini cukup menggambarkan posisi kesejahteraan Indonesia di
mata dunia.
Pengembangan
bidang pendidikan telah menjadi salah satu fokus utama negara Indonesia. Hal
ini dapat dilihat dari pemenuhan anggaran pendidikan 20% dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk peningkatan akses dan kualitas
pendidikan. APBN 2016 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan negara Indonesia tercatat
sebesar 49,2 triliun berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Anggaran
Republik Indonesia (Tanpa nama, 2016).
Pencapaian
keberhasilan pelaksanaan pendidikan di suatu negara dapat diukur dari angka
rata-rata lama sekolah. Dilansir dari litbang.kemendikbud.go.id “rata-rata lama
sekolah penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah 7,9 tahun” (Tanpa nama, 2014).
Angka ini tentu masih jauh dari target pendidikan Indonesia, yakni wajib
belajar 12 tahun. Hal ini juga mengindikasikan bahwa penggunaan anggaran
pendidikan Indonesia perlu didukung dengan program pengembangan pelaksanaan
pendidikan yang tepat sasaran, guna mendongkrak angka rata-rata lama sekolah
pendidikan Indonesia sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan pendidikan di
Indonesia.
Desa
berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan “kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul
dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Beberapa desa di Indonesia dilabeli dengan
istilah desa 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). Desa 3T merupakan kawasan
pedesaan yang terisolasi dari pusat pertumbuhan/daerah lain akibat tidak
memiliki atau kekurangan sarana infrastruktur, aksebilitas, atau terisolasi
kondisi geografis sehingga menghambat pertumbuhan/perkembangan kawasan
tersebut. Oleh sebab itu, desa 3T perlu memiliki perhatian khusus dari
pemerintah dan seluruh masyarakat di Indonesia.
Baca, tulis,
dan hitung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh manusia.
Kemampuan dasar tersebut dipelajari secara formal di sekolah. Berbagai
permasalahan terjadi pada pelaksanaan pendidikan sekolah di kawasan desa 3T,
diantaranya: (1) akses jalan ke sekolah yang jauh dan sulit ditempuh, (2)
keterbatasan sarana dan prasarana, (3) kurangnya kualitas mutu pendidikan, dan
(4) paradigma masyarakat bahwa sekolah tidak begitu penting.
Pemerintah
Indonesia senantiasa menggagas berbagai program solusi guna mewujudkan
pemerataan pelaksanaan pendidikan di desa 3T. Dilansir dari netralnews.com
“APBN 2016 mengucurkan dana sekitar 1,012 triliun untuk pembangunan desa
terpencil di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur...” (Marcel Rombe Baan,
2016). Pembangunan ini berupa pembangunan akses jalan dan pembangunan gedung
sekolah. Selain itu, program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,
Terluar, dan Tertinggal) merupakan solusi peningkatan kualitas mutu pendidikan
di daerah desa 3T. Program ini menjadi jawaban dari permasalahan kurangnya
penyebaran guru yang berkualitas di daerah desa 3T. Namun, kesemuaan upaya tersebut
seolah belum cukup untuk mengentaskan kesenjangan pendidikan di daerah desa 3T.
Faktanya jumlah desa 3T sampai saat ini tercatat masih sangat banyak berdasarkan
data dari Suprayoga Hadi (2015, hlm. 5) dipaparkan dalam tabel sebagai berikut:
Problematika
pendidikan di daerah desa 3T semakin kompleks dengan adanya paradigma
masyarakat desa 3T yang beranggapan bahwa sekolah tidak begitu penting.
Fasilitas sekolah gratis seolah tidak cukup untuk menarik minat orang tua agar
menyekolahkan anaknya. Anggapan bahwa bekerja lebih menghasilkan daripada
sekolah masih melekat pada orang tua khususnya di daerah desa 3T. Himpitan
kebutuhan ekonomi menjadi alasan utama tumbuh-kembangnya paradigma tersebut. Dampaknya
dapat dilihat dari angka rata-rata lama sekolah pada suatu daerah. Contohnya
angka rata-rata lama sekolah di provinsi Papua, yakni 6,1 pada tahun 2012 (Sumedi
Andono Mulyo, dkk., 2013, hlm. 7-7). Artinya, rata-rata penduduk Papua tidak
melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Maka, perlu
adanya upaya yang dilakukan oleh stakeholder,
dalam hal ini yakni instansi sekolah untuk merubah paradigma tersebut agar anak
di desa 3T dapat bersekolah sebagai modal dasar dalam menghadapi perkembangan
zaman.
Sejatinya,
sekolah merupakan sarana tempat untuk belajar. Dalam konteks ini, siswa belajar
untuk bekal hidup di masyarakat. Untuk itu, kurikulum sebagai acuan pelaksanaan
pendidikan di sekolah seyogyanya harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan kata lain, kurikulum juga berperan sebagai jembatan penghubung antara
kebutuhan masyarakat dengan program pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Fenomena
berkembangnya paradigma masyarakat desa 3T bahwa bekerja lebih menghasilkan
daripada sekolah merupakan kegagalan penyesuaian kurikulum sekolah dengan
kebutuhan masyarakat setempat. Kebutuhan masyarakat desa 3T secara umum yakni
terlepas dari himpitan ekonomi berupa pemenuhan kebutuhan primer seperti
pangan, sandang, dan papan. Dengan demikian, kondisi ini membuat para orang tua
di daerah desa 3T lebih menghendaki anaknya untuk membantu bekerja.
Fokus utama
gagasan dalam penyelesaian permasalahan ini, yakni menciptakan figur sekolah
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa 3T. Sekolah di daerah desa 3T
tidak cukup hanya berperan sebagai pusat tempat belajar, melainkan berperan
juga sebagai pusat pengembangan produktivitas potensi daerah desa 3T. Artinya,
selain fasilitas belajar, siswa juga mendapatkan program ekstra berupa keterampilan
khusus yang langsung dipraktikan melalui sistem ‘magang’. Nantinya, siswa akan
mendapatkan penghasilan dari program magang tersebut. Jadi, siswa dapat
membantu ekonomi orang tuanya, namun tetap berada pada lingungan pendidikan di
sekolah.
Bentuk nyata
program ini akan beragam, disesuaikan dengan potensi masing-masing daerah desa
3T. Misalnya, Desa Bahamyeti yang terletak dibalik pegunungan di Papua Barat.
Potensi daerah ini berupa perkebunan buah-buahan dan ternak hewan. Maka,
sekolah di daerah ini lebih cocok membuat program magang bagi siswa, berupa
berkebun dan beternak. Contoh lain, Desa Wayasipang yang terletak di pesisir
pantai Maluku Utara. Potensi daerah ini berupa kekayaan laut ikan dan terumbu
karang. Maka, sekolah di daerah ini lebih cocok membuat program magang bagi
siswa, berupa tambak ikan dan pemberdayaan terumbu karang.
Hasil akhir
dari gagasan ini adalah setiap anak di nusantara termasuk di daerah desa 3T
dapat bersekolah minimal sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) sesuai dengan
tujuan pendidikan pemerintah Indonesia, yakni wajib belajar 12 tahun. Lebih luas,
hal ini akan mendongkrak angka rata-rata lama sekolah pendidikan Indonesia
sekaligus sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Referensi
Andono, S. M., dkk. (2013). Pembangunan
Daerah dalam Angka 2013. Jakarta: BAPPENAS.
Hadi, S. (2015). Program
Pengembangan Desa dan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019: Target dan Lokasi
Prioritas. Jakarta: Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Rombe, M. B. (2016). Pemerintah
Bangun Desa Terpencil Kaltim Rp1,012 Triliun. [Online]. Diakses dari: http://www.netralnews.com/news/kesra/read/7426/pemerintah.bangun.desa.terpencil.kaltim.rp1012.triliun.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
_____. (2016). UNDP: Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia Alami Kemajuan. [Online]. Diakses dari: http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/01/undp-indeks-pembangunan-manusia-indonesia-alami-kemajuan.
_____. (2016). Informasi APBN
2016. Jakarta: Direktorat Jenderal Anggaran Republik Indonesia.
_____.
(2014). Kemendikbud Dongkrak Rata-Rata
Lama Sekolah. [Online]. Diakses dari: http://litbang.kemdikbud.go.id/index.php/index-berita-bulanan/2014/berita-bulan-januari-2014/612-kemdikbud-dongkrak-rata-rata-lama-sekolah.Esai ini telah diikutsertakan pada kegiatan Gelora Esai Nasional 2016
EmoticonEmoticon