Kepribadian Manusia
Karya:
Rizki Siddiq Nugraha
Tidak
ada pengertian kepribadian yang mutlak dari para ahli. Karena mereka mempunyai
pandangan yang berbeda ketika mengartikan kepribadian yang disebabkan oleh
perbedaan latar belakang dan pengalaman religius pada awal kehidupan mereka.
Namun sebagian besar dari mereka menyetujui bahwa kata “kepribadian” (personality) berasal dari bahasa Latin,
yaitu persona, yang mengacu pada
topeng yang dipakai oleh aktor Romawi dalam pertunjukan drama Yunani. Ketika
itu, para aktor Romawi kuno memakai topeng (persona)
untuk memainkan peran atau penampilan palsu. Kemudian kata persona itu berarti pemain sandiwara itu sendiri. Akhirnya, kata persona itu menunjukkan pengertian tentang kualitas
dari watak/karakter yang dimainkan di dalam sandiwara itu. Namun dalam
perkembangan teori-teori kepribadian, para psikolog menggunakan istilah
“kepribadian” mengacu pada sesuatu yang lebih dari sekadar peran yang dimainkan
seseorang.
Sartain
(dalam Purwanto, 1990, hlm. 154) mengemukakan bahwa “istilah kepribadian (personality) menunjukkan suatu
organisasi/susunan daripada sifat-sifat dan aspek-aspek tingkah laku lainnya
yang saling berhubungan dalam suatu individu”. Sifat-sifat dan aspek-aspek yang
dimaksud tersebut adalah yang menyebabkan individu berbuat dan bertindak
seperti apa yang dia lakukan dan menunjukkan adanya ciri khas yang membedakan
antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Kepribadian
itu relatif stabil atau dapat dikatakan bersifat tetap dan tidak berubah.
Meskipun individu tersebut mengalami pertumbuhan dan perkembangan namun dalam
perubahan tersebut ada pola-pola kepribadian tertentu yang bersifat tetap.
Semakin dewasa individu tersebut, maka akan semakin jelas polanya.
Meskipun
sangat sulit untuk merumuskan definisi tentang kepribadian, namun Feist dan Feist
(2011, hlm. 4) mengatakan bahwa “kepribadian adalah pola sifat dan
karakteristik tertentu, yang relatif permanen dan memberikan, baik konsistensi
maupun individualitas pada perilaku seseorang”. Dengan kata lain, dapat kita
simpulkan bahwa kepribadian merupakan bagian dari individu yang paling
mencerminkan atau mewakili si pribadi untuk
membedakan individu tersebut dari orang lain, dan yang lebih penting bahwa
itulah ia yang sebenarnya.
Seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa kepribadian itu berkembang dan mengalami
perubahan namun ada pola tertentu yang bersifat tetap. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian adalah sebagai berikut:
1. Faktor Biologis
Faktor biologis ini berhubungan dengan
keadaan jasmani seseorang atau disebut faktor fisiologis. Faktor ini meliputi
keadaan pencernaan, peredaran darah, pernapasan, kelenjar-kelenjar, urat
syaraf, tinggi dan berat badan. Keadaan jasmani seseorang berbeda dengan yang
lainnya. Keadaan tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor keturunan atau bawaan
orang itu masing-masing. Keadaan fisik yang berlainan itu menyebabkan sikap dan
sifat-sifat serta temperamen yang berbeda pula.
2. Faktor Sosial
Faktor sosial
yang dimaksud di sini adalah masyarakat; yakni manusia-manusia lain di sekitar
individu yang mempengaruhi individu tersebut. Faktor sosial ini meliputi
tradisi-tradisi, adat-istiadat, peraturan, bahasa, dan sebagainya. Masyarakat
terkecil yang sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang adalah
lingungan keluarga. Keadaan dan suasana keluarga yang berlain-lainan,
memberikan pengaruh yang bermacam-macam pula terhadap perkembangan pribadi
anak. Ahmad Musa mengemukakan bahwa “keluarga memberikan pengaruh yang sangat
besar terhadap perkembangan anak dan menentukan perkembangan pribadi anak
selanjutnya” (Purwanto, 1990, hlm. 162). Hal itu terjadi karena:
a.
pengaruh itu merupakan pengalaman yang pertama;
b.
pengaruh yang diterima anak itu masih terbatas jumlah dan luasnya;
c.
intensitas pengaruh itu tinggi karena berlangsung terus-menerus siang dan
malam; dan
d.
umumnya pengaruh itu diterima dalam suasana aman serta bersifat intim dan
bernada emosional.
Semakin berkembang
seorang anak, maka pengaruh yang diterima anak dari lingkungan sosialnya semakin
besar dan meluas. Setelah keluarga, anak-anak akan besosialisasi dengan teman
sebayanya, tetangga-tetangga, lingkungan kampung, desa, dan seterusnya. Hal
itulah yang berpengaruh terhadap perkembangan dan pembentukan kepribadian
seseorang.
3.
Faktor Kebudayaan
Faktor
kebudayaan ini sebenarnya termasuk pula ke dalam faktor sosial. Karena
kebudayaan berkembang dalam masyarakat. Namun ada beberapa aspek dalam
kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan pembentukan kepribadian,
yaitu nilai (values), adat dan
tradisi, pengetahuan dan keterampilan, bahasa, dan milik kebendaan.
Pada perkembangan teori-teori tentang
kepribadian, para ahli mengelompokkan manusia ke dalam berbagai kelompok sesuai
dengan teori yang dianutnya. Salah satu teori yang paling menarik dari seluruh
konsep kepribadian adalah teori kepribadian dari seorang tokoh Psikologi
Analitis, yaitu Carl Gustav Jung.
C.G. Jung membuat pembagian tipe-tipe
manusia berdasarkan arah perhatian manusia. Jung mengatakan bahwa “perhatian
manusia itu tertuju kepada dua arah, yakni keluar dirinya yang disebut
ekstrover dan ke dalam dirinya yang disebut introver” (Purwanto, 1990, hlm. 150).
Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat kita ketahui bahwa Jung menggolongkan
manusia ke dalam dua golongan besar, yaitu ekstrover dan introver. Namun
menurut Hall dan Lindzey (1993, hlm. 192), “kedua sikap yang berlawanan ini ada
dalam kepribadian tetapi biasanya salah satu diantaranya dominan dan sadar,
sedangkan yang lain kurang dominan dan tak sadar”. Artinya, tidak ada manusia
yang ekstrover 100% dan juga sebaliknya, tidak ada manusia yang 100% introver.
Hanya yang tampak adalah sikap yang dominan. Berikut penjelasan lebih lanjut
mengenai ekstrover dan introver:
1. Tipe Ekstrover
Menurut Jung, “ekstrover adalah sebuah sikap yang menjelaskan
aliran energi psikis ke arah luar, sehingga yang bersangkutan akan memiliki
orientasi obyektif dan menjauh dari subyektif” (Feist dan Feist, 2011, hlm.137).
Karena perhatian orang ekstrover lebih
diarahkan ke luar dirinya, maka orang tipe ekstrover akan lebih mudah untuk dipengaruhi oleh sekelilingnya dibanding
oleh kondisi dirinya. Mereka cenderung untuk berfokus pada sikap obyektif dan
menekan sisi subyektifnya.
Orang-orang
yang tergolong tipe ekstrover mempunyai
sifat seperti berhati terbuka, lancar dalam pergaulan, ramah tamah, penggembira,
banyak kontak dengan lingkungan, mudah terpengaruh dan mudah mempengaruhi
lingkungan. Hal itu selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Jung (dalam
Macintyre, 1972, hlm. 294) bahwa “...the
extraverted type of personality-sociable, outgoing, and optimistic”.
Berdasarkan
karakteristik pemikirannya, orang ekstrover
sangat bergantung pada pemikiran yang nyata, tetapi mereka juga menggunakan
ide abstrak jika ide tersebut dapat ditransmisikan kepada mereka secara
langsung, contohnya dari guru atau orang tua. Contoh orang-orang yang mempunyai
tipe pemikiran ini adalah ahli matematika, insinyur, dan akuntan.
Dari
segi feeling atau cara memberikan
sebuah penilaian (valuing),
orang-orang dengan perasaan ekstrover menggunakan
data obyektif untuk melakukan penilaian/evaluasi. Mereka tidak banyak dipandu
oleh opini subyektif mereka, tetapi lebih oleh nilai eksternal dan penilaian
standar yang diterima luas. Orang ekstrover
biasanya disukai karena kemampuan sosialnya.
Selanjutnya,
berdasarkan proses penginderaan (sensing),
orang ekstrover menerima rangsangan
eksternal secara obyektif. Sensasi mereka tidak dipengaruhi secara signifikan
oleh sikap subyektifnya. Dari segi intuisi atau persepsi yang berada jauh di luar
kesadaran, orang ekstrover selalu
berorientasi pada fakta dalam dunia eksternal. Orang-orang yang intuitif,
menekan sensasi/penginderaan mereka dan lebih menggunakan firasat dan perkiraan
sebagai pemandunya jika dibandingkan dengan data dari indera.
Secara
hierarki, Eysenck dan Cattel (dalam Feist dan Feist, 2010, hlm. 122)
menggambarkan tipe kepribadian ekstrover sebagai berikut:
2.
Tipe Introver
Menurut
Jung, “introver adalah aliran energi
psikis ke arah dalam yang memiliki orientasi subyektif. Orang orang ini akan
menerima dunia luar dengan sangat selektif dan dengan pandangan subyektif
mereka” (Feist dan Feist, 2011, hlm. 137). Jung (dalam Macintyre, 1972, hlm.
296) mengungkapkan juga tentang tipe kepribaian introver, menurutnya “...and the introverted type-more apt to
withdraw from external reality, less sociable, more absorbed in his own inner
life”. Orang-orang introver perhatiannya
lebih mengarah pada dirinya.
Berdasarkan
cara berpikirnya, orang introver bereaksi
terhadap rangsangan eksternal, tetapi interpretasi mereka terhadap suatu
kejadian lebih diwarnai oleh pemaknaan internal yang mereka bawa dalam dirinya
sendiri dibanding dengan fakta obyektif yang ada. Sehingga orang-orang dengan
tipe kepribadian introver tidak mudah
terpengaruh oleh pihak lain.
Dilihat
dari segi perasaan atau feeling dalam
proses pemberian nilai (valuing),
orang introver mendasarkan penilaian
mereka pada persepsi subyektif dibanding dengan fakta obyektif. Menurut Jung “mereka
mengabaikan opini tradisional serta kepercayaan, menjauhi dunia obyektif, dan
kerap kali menyebabkan orang di sekitar mereka merasa tidak nyaman dan bereaksi
dingin terhadap mereka” (Feist dan Feist, 2011, hlm. 140).
Dari
cara mereka melakukan penginderaan atau sensing,
orang introver biasanya sangat dipengaruhi oleh sensasi subyektif akan
penglihatan, pendengaran, rasa, sentuhan, dan lainnya. Sehingga, orang-orang
golongan introver baru akan percaya
tentang suatu hal apabila ia telah melihat, mendengar, atau merasakannya
sendiri. Selanjutnya dari segi intuisi, orang introver dipandu oleh ketidaksadaran terhadap fakta yang umumnya subyektif
dan memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kesamaan dengan kenyataan eksternal.
Biasanya,
orang dengan tipe kepribadian introver memiliki karakteristik seperti kurang
pandai bergaul, pendiam, suka menyendiri, sering takut pada orang, bersikap
hati-hati, pesimistis, dan terkontrol. Crow and Crow (dalam Purwanto, 1990,
hlm. 151) menguraikan lebih terperinci lagi sifat-sifat dari kedua golongan
tipe tersebut, yaitu sebagai berikut:
No.
|
Ekstrover
|
Introver
|
1.
|
Lancar/lincah dalam berbicara.
|
Lebih lancar menulis daripada
berbicara.
|
2.
|
Bebas dari kekhawatiran atau
kecemasan.
|
Cenderung/sering diliputi
kekhawatiran.
|
3.
|
Tidak lekas malu dan tidak canggung.
|
Lekas malu dan canggung.
|
4.
|
Umumnya bersifat konservatif.
|
Cenderung bersifat radikal.
|
5.
|
Mempunyai minat pada atletik.
|
Suka membaca buku-buku dan majalah.
|
6.
|
Dipengaruhi oleh data obyektif.
|
Lebih dipengaruhi oleh
perasaan-perasaan subyektif.
|
7.
|
Ramah dan suka berteman.
|
Agak tertutup jiwanya.
|
8.
|
Suka bekerja bersama orang lain.
|
Menyukai bekerja sendiri.
|
9.
|
Kurang memperdulikan penderitaan dan
milik sendiri.
|
Sangat menjaga/berhati-hati terhadap
penderitaan dan miliknya.
|
10.
|
Mudah menyesuaikan diri dan luwes.
|
Sukar menyesuaikan diri dan kaku dalam
pergaulan.
|
Adapun struktur hierarki dimensi kepribadian
introver yang digagas oleh Eysenck dan Cattel (dalam Feist dan Feist, 2010,
hlm. 121) sebagai berikut:
Seperti
kategori tipe kepribadian, Jung juga mengkategorikan tahap perkembangan manusia
menjadi empat periode utama, yaitu “masa kanak-kanak, masa muda, masa
perrtengahan (paruh baya), dan masa tua (lanjut usia)” (Feist dan Feist, 2011,
hlm. 142). Masing-masing periode terlibat dalam pembentukan kepribadian setiap
individu. Jung memberikan ilustrasi setiap tahapan perkembangan kepribadian itu
seperti perjalanan matahari melewati langit, sebagai berikut:
Berikut penjabaran secara lebih
terperinci mengenai tahap perkembangan manusia:
1. Masa Kanak-kanak
Jung
membagi masa kanak-kanan ke dalam tiga fase, yaitu “fase anarkis, fase
monarkis, dan fase dualistis” (Feist dan Feist, 2011, hlm. 143). Fase anarkis
dikarakterisasikan dengan banyaknya kesadaran yang kacau. Fase monarkis
dikarakterisasikan dengan perkembangan ego dan mulainya masa berpikir secara
logis dan verbal. Pada fase monarkis, anak-anak akan melihat dirinya sendiri
secara obyektif. Sedangkan pada fase dualistis, anak-anak akan menyadari
dirinya sebagai objek dan subjek. Sekarang anak-anak menyadari dirinya sebagai
orang pertama dan mulai sadar akan eksistensinya sebagai individu yang
terpisah.
Pada masa kanak-kanak
inilah, individu akan mulai berkembang menjadi pribadi ekstrover atau introver,
karena pada masa ini mereka mulai mengenal lingkungan dan berhubungan sosial
baik dengan orang tua atau teman sebayanya. Kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan di sekitarnya akan menentukan apakah ia ekstrover atau introver.
2.
Masa Muda
Periode ini ditandai
dari “pubertas sampai dengan masa pertengahan (paruh baya)” (Feist dan Feist,
2011, hlm. 143). Pada masa ini, individu akan bertahan untuk mencapai kebebasan
fisik dan psikis dari orang tuanya, mendapatkan pasangan, membangun keluarga,
dan mencari tempat di dunia ini. Menurut Jung (dalam Feist dan Feist, 2011,
hlm. 143) “masa muda seharusnya menjadi periode ketika aktivitas meningkat,
mencapai kematangan seksual, menumbuhkan kesadaran, dan pengenalan bahwa dunia
dimana tidak ada masalah seperti pada waktu kanak-kanak”.
3. Masa Pertengahan (Paruh Baya)
Menurut Jung (dalam Feist dan Feist, 2011, hlm. 144)
“masa pertengahan/paruh baya berawal di usia 35-40 tahun, pada saat matahari
telah melewati tengah hari dan mulai berjalan menuju terbenam”. Untuk sebagian
orang, pada masa ini akan terjadi peningkatan kecemasan akan masa tua. Pada
masa ini, individu akan menjaga ketertarikan fisik, penampilan, dan gaya hidup
masa mudanya.
Orang yang telah hidup
pada masa muda tanpa bersikap kekanak-kanakan atau dengan nilai-nilai masa
pertengahan akan lebih siap untuk hidup di fase ini. Mereka akan mampu
memberikan tujuan ekstrovernya di masa muda dan bergerak menuju kesadaran
introver. Mereka harus mulai menatap ke depan dan menanggalkan gaya hidup pada
masa muda dan menemukan arti baru dalam masa pertengahan.
4. Masa Tua
Jika
pada masa pertengahan (paruh baya) individu takut menghadapi masa tuanya, maka
pada masa tua ini individu cenderung takut akan kematian atau fase kehidupan
berikutnya. Namun pada dasarnya, seseorang yang takut akan kematian adalah hal
yang normal.
Pada
masa tua atau lanjut usia, orang akan mengalami penurunan kesadaran, seperti
pada saat matahari berkurang sinarnya di waktu senja. Banyak orang tua yang
menderita akibat terlalu berorientasi masa lalu, susah payah bergantung pada
gaya hidup dan tujuan masa lalu, serta menjalani alur hidup tanpa tujuan yang
jelas. Jika keadaannya demikian, maka mereka perlu dibantu untuk membangun
tujuan dan arti hidup baru dalam kehidupannya, dengan mempelari arti kematian.
Referensi
Feist,
J., & Feist, G. J. (2010). Teori
Kepribadian (7th ed). Jakarta: Salemba Humanika.
Feist,
J., & Feist, G. J. (2011). Teori
Kepribadian (8th ed). Jakarta: Salemba Humanika.
Hall,
C. S., & Lindzey, G. (1993). Teori-teori
Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kasinius.
Macintyre,
A. (1972). The Ensyclopedia of Philosophy. Philosophical
Journals, 4 (1), hlm. 294-296.
Purwanto,
M. N. (1990). Psikologi Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
EmoticonEmoticon