Cerita Rakyat
Karya: Rizki Siddiq
Nugraha
Cerita rakyat
adalah tradisi lisan yang secara turun temurun diwariskan dalam kehidupan
masyarakat. Cerita rakyat biasanya berbentuk tuturan yang berfungsi sebagai
media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam
kehidupan masyarakat. Pada sastra Indonesia, cerita rakyat adalah “salah satu
bentuk folklor lisan” (Bunanta, 1998, hlm. 21).
Folklor berasal
dari kata bahasa Inggris, yakni folk yang
berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lain dan lore yang berarti kebudayaan yang
diwariskan secara turun temurun, secara lisan atau melalui contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memory device). Danandjaja (2007, hlm. 2) mengemukakan folklor
merupakan “sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan
turun temurun di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dan
isyarat atau alat pembantu pengingat (memory
device)”.
Dorson (dalam
Endraswara, 2003, hlm. 108) menyatakan folklor dapat diklasifikasikan menjadi
empat, yakni:
1. Oral literature,
kadang-kadang disebut juga seni verbal atau sastra ekspresif. Sastra lisan
merupakan bagian folklor yang menjadi ruh folklor. Sastra lisan juga menguatkan
folklor sehingga lekat di hati pendukungnya.
2. Budaya material, yaitu folklor yang kontras dengan sastra lisan.
Budaya folklor adalah kehidupan fisik. Folklor ini terkait dengan karya,
seperti pakaian, desain, candi, dan sebagainya.
3. Social folk costum,
artinya kebiasaan sosial rakyat. Kebiasaan ini menyangkut tradisi rakyat.
Hal-hal yang berhubungan dengan rites de
passage, seperti kelahiran, inisiasi, ekmatin, dan ritual lainnya.
4. Performing folk arts, artinya
seni pertunjukan rakyat, seperti jatilan, ketoprak, srandul, dan sebagainya.
Berdasar pengklasifikasian
tersebut, maka cerita rakyat termasuk pada kategori oral literature.
Cerita rakyat
merupakan genre dari folklor yang hidup tersebar dalam bentuk lisan dan
kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada ruang dan waktu serta nama
penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Danandjaja (2007, hlm. 3) mengemukakan
ciri-ciri cerita rakyat, sebagai berikut:
1. Penyebaran dan pewarisan biasanya dilakukan secara lisan, yakni
disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh
yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi
ke generasi berikutnya. Namun, kini penyebaran folklor dapat kita temukan
dengan bantuan mesin cetak dan elektronik.
2. Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap
atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu
yang cukup lama.
3. Ada dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, karena
cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), sehingga proses lupa dari
manusia atau proses interpolasi (interpolation)
memunculkan varian-varian tersebut.
4. Bersifat anonim, yakni nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5. Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola.
6. Mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita
rakyat, misalnya memiliki kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara,
protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
7. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum.
8. Menjadi milik lisan bersama (collective)
dari kolektif tertentu.
9. Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatan
kasar dan terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa
banyak folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Secara umum
fungsi cerita rakyat, hampir sama dengan karya sastra lainnya. Kosasih (2003,
hlm. 222) menyatakan bahwa fungsi sastra dapat digolongkan dalam lima kelompok
besar, yaitu: “(1) fungsi rekreatif, yaitu memberikan rasa senang, gembira, dan
menghibur, (2) fungsi didaktif, yaitu mendidik para pembaca karena nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan yang ada di dalamnya, (3) fungsi estetis, yaitu
memberikan nilai-nilai keindahan, (4) fungsi moralitas, yaitu mengandung nilai
moral yang tinggi sehingga para pembaca dapat mengetahui moral yang baik dan
buruk, serta (5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung ajaran yang dapat
dijadikan teladan bagi para pembacanya.
Adapun secara
khusus menurut Bascom (dalam Danandjaja, 2007, hlm. 19) fungsi cerita rakyat
secara khusus memiliki empat fungsi, yakni “(1) sebagai sistem proyeksi, yaitu
sebagai alat pencermin angan-angan kolektif, (2) sebagai alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidikan
anak, dan (4) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat
akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya”.
Referensi
Bunanta,
M. (1998). Problematika: Penulisan Cerita
Rakyat di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Danandjaja,
J. (2007). Folklor Indonesia Ilmu Gosep,
Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: PT Temprint.
Endraswara,
S. (2003). Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Widyautama.
Kosasih,
E. (2003). Ketatabahasaan dan
Kesusastraan. Bandung: Yrama Widya.
EmoticonEmoticon