Pemilihan Umum 1971 (Masa Orde Baru)
Karya: Rizki Siddiq
Nugraha
Pemilihan Umum
1971 merupakan hasil persiapan yang telah dilaksanakan oleh Orde Baru sejak
tahun 1966. Pada ketetapan No XI/MPRS/1966 telah dinyatakan
pertimbangan-pertimbangan konstitusional yang mendasarinya dijabarkan oleh
Moertopo (1974, hlm. 63), yakni “(1) negara republik Indonesia adalah negara
yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang tercantum dalam asas Pancasila dan UUD
1945, (2) untuk pelaksanaan asas kedaulatan rakyat itu diperlukan
lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat yang dibentuk dengan pemilihan
umum, (3) hingga kini lembaga-lembaga tersebut belum terbentuk dengan pemilihan
umum, (4) akibat daripada belum
terbentuknya tersebut dengan pemilihan umum, kehidupan demokrasi Indonesia
belum berjalan lancar, (5) dalam rangka kembali pada pelaksanaan UUD 1945
secara murni dan konsekuen, perlu segera dibentuk lembaga-lembaga dalam
pemilihan umum”.
Pada pemilihan
umum 1971 para pemimpin partai mempunyai kesempatan untuk memperbaiki kedudukan
sebagai wakil rakyat. “Kelompok mahasiswa dan kekuatan pro Orde Baru baik sipil
atau militer memanfaatkan pemilihan umum sebagai alat untuk memulai penyusunan
kembali sistem kepartaian secara menyeluruh” (Liddle, 1992, hlm. 194).
Di dalam
menghadapi pemilihan umum, persiapan-persiapan mulai dilakukan pada tanggal 23
Mei 1970 presiden dengan surat keputusan No. 43 menetapkan
organisasi-organisasi yang ikut serta dalam pemilihan umum dan anggota-anggota
DPR/DPRD. Partai-partai tersebut, antara lain: “Partai Murba, Partai Nahdhatul
Ulama, Partai Islam Persatuan Tarbiyah, Partai Katolik, Partai Kristen
Indonesia, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia,
dan Golongan Karya” (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993, hlm. 427).
Hasil pemilihan
muncul sebagai kejutan besar bagi sejumlah pemimpin partai. Golongan Karya
memenangkan 62,8% suara (227 kursi) sementara Partai Nahdhatul Ulama meraih 18%
suara (58 kursi), dan Partai Nasional Indonesia meraih 6,93% suara (20 kursi).
Pada pemilihan
umum 1971, partai pemerintah, Golongan Karya, memenangkan 227 kursi. Bersama
dengan 100 anggota yang diangkat pemerintah, pemerintah memiliki sekitar 327
kursi dari 460 kursi yang tersedia. Karena proporsi suara pemerintah yang besar
sekali, Golongan Karya dapat mengusulkan dan menyetujui sebagian besar
rancangan Undang-Undang. Dalam rangka mengawasi DPR, tidaklah cukup untuk hanya
bersandar pada anggota-anggotanya yang diangkat. Pemerintah harus menempatkan
wakil-wakilnya di DPR melalui pemilihan umum berkala. “Untuk menjamin
kemenangan Golongan Karya dalam pemilu-pemilu mendatang, pemerintah bermaksud
memperbaiki Golongan Karya untuk membuatnya lebih efektif” (Suryadinata, 1992,
hlm. 48). “Kemenangan Golongan Karya pada pemilu 1971 merupakan bukti perkiraan-perkiraan
yang telah dapat diperhitungkan sebelumnya, satu dan lain hal karena rakyat
yang selama ini telah dikecewakan oleh partai-partai politik benar-benar
menaruh harapan pada Golongan Karya” (Moertopo, 1977, hlm. 82).
Referensi
Liddle,
R. (1992). Pemilu-Pemilu Orde Baru:
Pasang Surut Kekuasaan Politik. Jakarta: LP3ES.
Moertopo,
A. (1974). Strategi Politik Nasional.
Jakarta: CSIS.
Moertopo,
A. (1977). Golkar Sangat Dibutuhkan untuk
Pembangunan Bangsa. Jakarta. Suara Karya.
Poesponegoro,
M. D., & Notosusanto, N. (1993). Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Suryadinata,
L. (1992). Golkar dan Militer: Studi
Tentang Budaya Politik. Jakarta: Gramedia.
EmoticonEmoticon