Teori Belajar Van Hiele
Karya: Rizki Siddiq
Nugraha
Teori belajar
Van Hiele adalah suatu teori tentang tingkat pemahaman siswa dalam
mempelajari geometri, di mana siswa tidak dapat naik ke tingkat yang lebih
tinggi tanpa melewati tingkat yang lebih rendah. Teori belajar Van Hiele
dikembangkan secara luas oleh pasangan suami-istri, Pierre Van Hiele dan Dina
Van Hiele-Geldof pada tahun 1954. Van Hiele adalah “seorang pengajar matematika
berkebangsaan Belanda, yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui
pengamatan dan tanya jawab, menguraikan beberapa tahap-tahap perkembangan
mental anak dalam mempelajari geometri” (Suherman, dkk., 2003, hlm. 51).
Menurut Val
Hiele (dalam Suherman, dkk., 2003, hlm. 51) terdapat tiga unsur utama dalam
pengajaran geometri, yaitu “(1) waktu, (2) materi pengajaran, dan (3) metode
pengajaran yang diterapkan”. Apabila ketiga unsur tersebut dikelola dengan
baik, maka peningkatan kemampuan berpikir anak akan lebih tinggi.
Lebih lanjut,
Van Hiele (dalam Suherman, dkk., 2003, hlm. 51) menyatakan bahwa terdapat lima
tahap belajar dalam pemahaman geometri, sebagai berikut:
1. Tahap pengenalan
Pada tahap ini, siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri,
seperti bola, kubus, segitiga, persegi, lingkaran, dan bangun-bangun geometri
lainnya. Seandainya siswa dihadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geometri,
siswa dapat memilih dan menunjukkan mana yang berbentuk lingkaran.
Pada tahap pengenalan, siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari
bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga bila kita ajukan
pertanyaan, seperti “apakah perbedaan antara lingkaran dan bola?” Untuk hal
ini, maka siswa tidak dapat menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter
siswa pada tahap pengenalan, jangan sampai siswa diajarkan sifat-sifat bangun
geometri terlebih dahulu, karena siswa akan menerimanya berupa hafalan, bukan
suatu pengertian.
2. Tahap analisis
Pada tahap analisis, siswa sudah mulai mengenal sifat-sifat yang
dimiliki dari bangun-bangun geometri yang diamati. Ia sudah mampu menyebutkan
keteraturan yang terdapat pada bangun geometri tersebut. Misalnya, pada sebuah
lingkaran mempunyai bagian-bagian antara lain adalah memiliki titik pusat
lingakaran, jari-jari lingkaran, diameter lingkaran, dan sebagainya.
Seandainya kita tanyakan “apakah lingkaran itu bola?” Maka siswa pada
tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan tersebut karena siswa pada tahap ini
belum memahami perbedaan antara bangun geometri satu dengan yang lainnya. Siswa
pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu
bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3. Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat dari
sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya,
maka pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara
suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya. Siswa yang berada pada
tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan bangun-bangun geometri. Misalnya, siswa
sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah
layang-layang, kubus itu balok, dan lingkaran itu bola.
Pada tahap ini, siswa sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan
kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal, artinya masih sederhana.
Karena masih pada tahap awal, siswa masih belum mampu memberikan alasan yang
rinci ketika ditanya mengapa lingkaran itu bola, mengapa kedua bangun tersebut
sama-sama bulat tetapi tidak bisa dikatakan bangun yang sama, dan sebagainya.
4. Tahap deduksi
Pada tahap ini, siswa sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif,
yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang
bersifat khusus. Demikian pula, ia telah mengetahui betapa pentingnya peranan
unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang
didefinisikan.
Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika
dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan
teorema dan lain-lain dilakukan dengan cara deduktif. Sebagai contoh, siswa
menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360o
secara deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian
secara induktif, yaitu dengan memotong sudut-sudut benda jajargenjang, kemudian
setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau
360o belum tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa
pengukuran pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran
sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut
jajargenjang tersebut. Untuk itu, pembuktian secara deduktif merupakan cara
yang tepat dalam pembuktian pada matematika.
Adapun siswa pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem
deduktif. Oleh karena itu, siswa pada tahap ini belum dapat menjawab
pertanyaan, seperti “mengapa sesuatu itu disajikan dalam bentuk teorema atau
dalil?”
5. Tahap akurasi
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif siswa dalam memahami geometri
adalah tahap akurasi atau tahap keakuratan. Pada tahap ini, siswa sudah
memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Siswa pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu
disajikan dalam postulat atau dalil. Siswa sudah mengetahui prinsip-prinsip
dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Di dalam matematika, kita tahu bahwa betapa pentingnya sistem deduktif.
Tahap akurasi merupakan tahap berpikir tinggi dalam memahami geometri. Pada
tahap ini memerlukan cara berpikir yang rumit dan kompleks. Oleh karena itu, jarang
atau hanya sedikit sekali siswa yang sampai pada tahap berpikir ini, meskipun
sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas.
Referensi
Suherman,
E., dkk. (2003). Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
EmoticonEmoticon